JAKARTA, TimeNUSANTARA — Baru hitungan bulan memimpin Provinsi Riau, Gubernur Abdul Wahid kini harus berhadapan dengan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi proyek pembangunan jalan dan jembatan tahun anggaran 2025.
Kasus ini mencuat setelah tim penyidik KPK menemukan adanya dugaan pemerasan dan permintaan jatah uang (fee) dari Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Pemprov Riau.
Selain Gubernur Abdul Wahid, dua nama lain ikut dijerat, yakni Kepala Dinas PUPR-PKPP, Muhammad Arief Setiawan (MAS), dan tenaga ahli gubernur, Dani M. Nursalam.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025), Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan penetapan tersangka ini menjadi peringatan keras bagi kepala daerah di seluruh Indonesia.
“Ini sudah kali keempat Gubernur Riau terjerat kasus korupsi. Harus menjadi perhatian serius agar tata kelola pemerintahan dibenahi secara menyeluruh,” tegas Johanis.
KPK mengungkap, penyelidikan berawal dari laporan masyarakat. Tim kemudian menemukan adanya pertemuan gelap di salah satu kafe di Pekanbaru pada Mei 2025. Dalam pertemuan itu, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP, Ferry Yunanda (FRY), bersama enam kepala UPT membahas kesanggupan memberikan “fee proyek” kepada sang gubernur.
“Kesepakatan awal adalah fee 2,5% dari nilai proyek sebagai jatah untuk AW (Abdul Wahid),” kata Johanis.
Namun angka itu naik setelah laporan disampaikan ke Kadis PUPR, Muhammad Arief Setiawan, yang disebut mewakili kepentingan sang gubernur.
“Permintaan naik jadi 5% atau sekitar Rp7 miliar. Mereka yang menolak diancam akan dicopot atau dimutasi,” ungkap Johanis lagi.
Istilah “jatah preman” pun mencuat di kalangan Dinas PUPR sebagai sebutan untuk praktik fee proyek tersebut.
Pertemuan lanjutan menghasilkan kesepakatan final: fee 5% dari total proyek Rp177,4 miliar — naik dari pagu awal Rp71,6 miliar. Dalam komunikasi internal, transaksi itu dikamuflase dengan kode “tujuh batang.”
KPK menegaskan, uang hasil pemerasan tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi dan politik Abdul Wahid, yang baru dilantik Februari lalu.
Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah di Riau yang tersandung korupsi. KPK menyebut, perbaikan sistem pengawasan dan transparansi pengadaan barang/jasa di provinsi tersebut menjadi urgensi nasional.








