BOLMUT TimeNUSANTARA – Sangadi Batulinting, Kecamatan Bintauna, Manto Tangahu, menyatakan keberatan atas pemberitaan di salah satu media online yang menurutnya tidak profesional dan merugikan nama baiknya. Ia menyesalkan berita tersebut diterbitkan tanpa adanya konfirmasi terlebih dahulu kepadanya sebagai pihak yang diberitakan.
“Saya merasa resah karena berita itu tidak mengedepankan kode etik jurnalistik, khususnya prinsip 5W 1H (What, Who, When, Where, Why, dan How). Pemberitaan tersebut memojokkan saya seolah-olah saya bersalah, padahal tidak ada pungutan liar dalam pengurusan sertifikat prona/PTSL di desa ini,” tegas Tangahu.
Sebagai mantan jurnalis di Manado, ia menilai tulisan tersebut amburadul, tidak bermakna, dan lebih mengarah pada penghakiman sepihak. Ia pun menegaskan bahwa jika wartawan yang menulis berita itu benar-benar profesional dan terdaftar di Dewan Pers, maka ia bisa dituntut atas pemberitaan yang mencemarkan nama baik. Namun, jika wartawan tersebut tidak terdaftar, maka Tangahu menilai ia hanya memanfaatkan media sosial atau website untuk kepentingan pribadinya tanpa mematuhi kode etik jurnalistik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengurusan Prona/PTSL Gratis, Kesepakatan Warga Bukan Pungli
Tangahu menegaskan bahwa pengurusan sertifikat tanah melalui program prona/PTSL adalah gratis. Hal ini telah disampaikan dalam sosialisasi resmi yang dilakukan oleh Dinas Pertanahan, PPKD, Kejaksaan, dan Polres sebelum program berjalan di tiap desa.
Namun, dalam pelaksanaan pengukuran tanah, ada kebutuhan bagi petugas pengukur yang harus tinggal di desa selama satu bulan. Dalam musyawarah desa, masyarakat secara sukarela menyepakati untuk menanggung kebutuhan dasar para petugas selama bertugas, seperti makan, minum, dan rokok.
“Warga sendiri yang bermusyawarah dan memutuskan untuk membantu biaya petugas pengukur yang tinggal di desa selama sebulan. Itu murni inisiatif warga, bukan paksaan. Jadi ini bukan pungutan liar, melainkan bentuk gotong royong masyarakat demi kepentingan bersama,” jelas Tangahu.
Dasar Hukum: Kesepakatan Sukarela Tidak Termasuk Pungutan Liar
Terkait dengan dugaan pungutan liar, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, pungli adalah pungutan yang dilakukan secara tidak sah, tanpa dasar hukum, dan bersifat memaksa. Sementara dalam kasus ini, tidak ada unsur paksaan, dan semua warga telah bermusyawarah serta menyepakati secara sukarela untuk membantu biaya hidup petugas pengukur tanah.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa keputusan yang diambil dalam musyawarah dan disepakati bersama oleh masyarakat tidak bisa dikategorikan sebagai pungutan liar, selama tidak ada paksaan atau unsur penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa.
“Saya berharap masyarakat tidak termakan berita yang tidak akurat dan tetap memahami bahwa ini adalah hasil kesepakatan bersama, bukan pungutan liar. Jika ada pihak yang merasa keberatan, sebaiknya bertanya langsung kepada pemerintah desa, bukan menyebarkan informasi yang menyesatkan,” tambah Tangahu.
Dengan adanya klarifikasi ini, ia berharap masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar dan media-media lain lebih mengedepankan prinsip jurnalistik yang profesional sebelum menerbitkan berita yang dapat merugikan pihak tertentu.
Kalrifikasi ini diterbitkan oleh redaksi Timenusantara.com atas permintaan Kepala Desa (Sangadi) Batulintik Manto Tangahu pada Minggu (2/2/2025).
Penulis: Fadlan Ibunu